Aturan Hukum dan Sejarah Komunis di Indonesia

.

Aturan Hukum dan Sejarah Komunis di Indonesia

Admin
Minggu, 22 April 2018
Para pengguna atribut palu-arit harus ditangkap. Ucapan itu keluar dari mulut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Selasa (10/5). Masih pada hari yang sama, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kompak mengatakan masyarakat tak boleh mengenakan simbol palu-arit yang identik dengan komunis.


“Secara ideologis, PKI tidak boleh lagi ada di Indonesia,” kata Yasonna di Jakarta.


Partai Komunis Indonesia dan organisasi underbouw-nya, serta ajaran komunisme, ujar Ryamizard, dilarang di negeri ini berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS Tahun 1966.

Negara memandang komunis harus dibasmi dari bumi Indonesia. Masyarakat dilarang berafiliasi dengan dan menyebarluaskan segala hal berbau komunisme, termasuk memakai simbol komunis seperti palu-arit.

Penyebaran ajaran komunisme, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, merupakan pelanggaran.

Selain itu, Pasal 2 Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 berbunyi, “Setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.”

Komunisme merupakan ideologi sosial, politik, dan ekonomi yang saat ini menjadi landasan sejumlah negara di dunia seperti Republik Rakyat Tiongkok, Kuba, Vietnam, Korea Utara, dan Rusia (dulu Uni Soviet).

Secara teoritis, komunisme ialah paham antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi ini menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas proletar sebagai kaum pekerja.

Kelas-kelas tersebut, menurut kaum komunis, memunculkan kesenjangan kelas dan ketidakadilan bagi kaum proletar. Mereka berpandangan, kekayaan atau modal sejatinya milik rakyat dan oleh karenanya seluruh alat produksi harus dikuasai negara demi kemakmuran rakyat secara merata.

Hantu Komunis

Komunisme di Indonesia kental dengan Partai Komunis Indonesia. PKI sampai sekarang dianggap momok menakutkan di Indonesia yang patut diberangus.

PKI yang pernah eksis dan diakui resmi sebagai partai politik, muncul setelah Indonesia merdeka berdasar Maklumat X tentang pendirian partai-partai politik oleh Muhammad Hatta pada Oktober 1945.

Sebagai salah satu partai baru, PKI kala itu berkembang amat pesat. Pemilu pertama Indonesia tahun 1955 menempatkan PKI sebagai partai besar setelah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama.

Namun, bak kebangkitannya yang bergelora seperti disebut Harry A. Poeze dalam bukunya ‘Madiun 1948 PKI Bergerak’, kejatuhan PKI pun terjadi cepat. Partai itu dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan enam jenderal Angkatan Darat.

“PKI dituding sebagai biang keladi sehingga Soeharto melarang penyebarannya,” kata Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/5).

Komunisme lantas menjadi tabu bagi masyarakat Indonesia. PKI yang berlandaskan paham komunisme dituduh menjadi dalang pembunuhan para perwira tinggi militer Indonesia dalam satu usaha percobaan kudeta.

Tudingan itu hingga kini membentuk persepsi masyarakat terkait komunisme dan PKI. Padahal belum ada jawaban pasti disertai bukti akurat terkait pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat itu.

“Di Indonesia, paham komunis dianggap salah. Mungkin karena Orde Baru membuat image bahwa komunis itu penjahat. Tapi kan sampai sekarang belum ada bukti kuat jika peristiwa 30 September 1965 dilakukan oleh PKI,” kata Aulia, seorang mahasiswa di Jakarta.

Saat ini, kata Al Araf, banyak tulisan, teks, dan buku dengan perspektif beragam terkait tragedi 1965. Tak jarang sebagian darinya menyatakan PKI bukan dalang dari peristiwa berdarah pada malam 30 September itu.

Ada juga yang menyebut G30S merupakan kudeta rangkap Soeharto terhadap Sukarno. Sebagian lainnya mengatakan peristiwa itu bagian dari konspirasi Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa itu.

Lainnya meyakini tragedi 1965 merupakan konflik internal militer Indonesia. “Ada spekulasi yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai konflik internal dalam TNI antara perwira muda yang loyal kepada Sukarno dengan yang tidak loyal kepadanya atau lebih condong ke Amerika Serikat dan CIA,” ujar Al Araf.

Semua itu menunjukkan ada mata rantai sejarah yang hilang terkait peristiwa 1965. Misteri itu, setelah setengah abad berlalu, kata Al Araf, mestinya bisa dibongkar oleh masyarakat bersama pemerintah. Negara seharusnya bisa menjadi penengah dan dapat memberikan jawaban bagi masyarakat.

“Masyarakat dan pemerintah harus berani jujur. Oleh sebab hal itu masih menjadi misteri, publik dan negara jangan berlebihan terhadap isu komunisme,” kata Al Araf.

Ia meminta masyarakat tak jadi paranoid ketika bersinggungan dengan isu komunisme dan PKI. Pun, penggunaan simbol atau lambang komunis dianggap Al Araf sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, bukan sebuah ancaman bagi negara.

“Negara-negara demokrasi di Eropa, juga Amerika Serikat yang berperang melawan Uni Soeviet dan komunis saja masih menganggap biasa penggunaan kaos atau barang-barang dengan simbol palu-arit,” ujar Al Araf.

Namun pemerintah Indonesia tampak berbeda pendapat. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengingatkan masyarakat agar tak main-main dengan lambang palu-arit, sebab penggunaan simbol itu dapat diartikan sebagai sosialisasi ajaran komunisme. (CNN Indonesia)